WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Sabtu, November 2

"Kasus Korupsi DPR PB, Ujian Bagi Kejaksaan" (Bagian 2 Habis)

Majelis Hakim Ad-Hoc P.Tipikor  Papua Barat [Foto: Pribadi]
Kronologis kasus Korupsi DPR PB diduga terjadi dalam pola pinjaman dana, proses pinjaman tersebut telah terjadi sebanyak dua kali pada dua waktu, melalui dua tahap. Menurut pernyataan versi pimpinan DPR PB pinjaman dilakukan untuk menutupi kebutuan Anggota DPR PB terutama yang dari luar Manokwari seperti tempat tinggal juga kendaraan dinas, untuk kebutuan tersebut, ke-44 Anggota DPR PB saat itu telah menerima Rp. 400 – 500 Juta per-orang. Sementara versi Kejati Papua (melalui hasil penyidikan), “kasus ini berawal dari Pertama pada 17 September 2010 tersangka ketua DPR PB bersama tersangka “Marthen Luther Rumadas” mengajukan pinjaman kepada Dirut PT PADOMA, hari itu juga tersangka  “H. Mamad Suhadi” selaku Dirut mengajukan pinjaman kepada “Marthen Luther Rumadas” sejumlah Rp. 17 Miliyar rupiah selanjutnya diserahkan kepada tersangka Ir. Marthen Luther Rumadas” kepada pimpinan dan anggota DPR PB sebagai pinjaman dewan, Kedua, melalui pola yang sama terjadi pada 09 Februari 2011, Ketua DPR PB bersama “Marthen Luther Rumadas” kembali mengajukan pinjaman sejumlah Rp. 5 Miliyar, pinjaman ini kemudian dikabulkan oleh Dirut Padoma “H. Mamad Suhadi” kepada “Ir. Marthen Luther Rumadas” dan diteruskan kepada pimpinan DPR PB. Berdasarkan peristiwa pinjam-meminjam inilah yang kemudian setelah lima bulan berlalu, pada tahun yang sama tepat pertengahan juli 2011 Kejati Papua menetapkan segenap pimpinan dan anggota DPR – PB sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi. Koordinator Penyidik Kejati Papua untuk kasus Korupsi DPR PB menyampaikan bahwa PT PADOMA bukanlah lembaga simpan pinjam, “tindak pidana korupsi terjadi sebab PT PADOMA menyalahi aturan sebagai perusahan yang bergerak dibidang kontraktor, perikanan dan usaha-usaha lainnya untuk menghasilkan PAD bagi Pemerintah Propinsi Papua Barat.  Akibat menyalahi aturan, biaya APBD Propinsi Papua Barat yang dialokasikan ke PADOMA pun terjadi penyimpangan sehingga menimbulkan kerugian negara”.

Berangkat dari uraian kronologis singkat di atas, beberapa catatan peristiwa dibawah ini saya ketengahkan untuk mencermati kedudukan hukum (legal standing), alasannya yaitu kasus ini telah merugikan kerugian Negara yang mencapai Miliyar rupiah dari APBD sebagai uang rakyat di Propinsi Papua Barat serta juga kasus ini terkesan ditangani secara parsial dengan menyita waktu dan perhatian publik yang terlampau meluas terhadap para pejabat terhormat dari rakyat di wilayah kepala burung Propinsi Papua Barat. Uraian fakta-fakta peristiwa berikut ini adalah pendekatan yang dipakai secara praktis dari aspek hukum untuk melihat integritas dan komitment aparatur Kejaksaan, terutama untuk mengungkap kasus korupsi DPR PB Periode 2009 - 2014.

Peristiwa Pertama yaitu Kejati menetapkan “status tersangka terhadap ke-44 anggota DPR – PB” pada Juli 2011, status tersangka tersebut jika merujuk pada pasal 1 butir ke-14 KUHAP menentukan bahwa “tersangka adalah orang yang karena perbuatannya atau keadaanya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Kata tersangka sesungguhnya wajib dipahami bahwa hal tersebut adalah resiko proses hukum acara, dalam hal ini mengandung kewajiban menjalani pemeriksaan, mengisi berita acara dan proses pembuktian, idealnya demikian. Namun akan terlihat aneh apabilah seseorang tidak pernah menjalani serangkaian proses acara pidana kemudian secara mendadak distatuskan sebagai sebagai tersangka, ke-44 pejabat DPR PB ini pernah membantah klaim Kejati Papua terkait pemberitaan status mereka sebagai tersangka mengingat mereka tidak pernah diperiksa sepanjang tahun 2011.

Selanjutnya kontradiksi Status tersangka apabilah diukur perbandingannya dengan pernyataan mengenai “perijinan pemeriksaan pejabat publik dari Jakarta sebagaimana diklaim Kejati Papua saat itu maka menjadi soal yaitu bilah ijin tersebut tidak pernah ada, secara yuridis mengapa bisa ada out-put penyelidikan mengenai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi, sebab keadaan tersebut terkesan menandakan bahwa ke-44 atau 42 Pejabat DPR PB benar-benar telah menjalani proses pemeriksaan sebagai seorang saksi ataupun terlapor dalam perkara tindak pidana korupsi APBD Propinsi Papua Barat.

Peristiwa kedua, yaitu soal perijinan pemeriksaan ke-44 atau 42 pejabat DPR – PB itu sendiri, secara factual pengertian (definisi) ijin pemeriksaan sebenarnya tidak pernah di atur secara formal dalam berbagai produk perundang-undangan nasional Indonesia. Mengapa harus ada istilah ijin?, hal ini sangat menyesatkan masyarakat, Menurut surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia No. R-86/F/F.2.1/01/2005 telah disampaikan petunjuk pimpinan Kejaksaan Agung RI pada point 1 bahwa “ tindakan penyelidikan, penyidikan dan penahanan terhadap anggota DPRD berdasarkan pasal 106 ayat (4)  UU No. 22 tahun 2003 tentang Susduk MPR/DPD dan  DPR/DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, “tidak perlu”dimintakan persetujuan tertulis terlebih dahulu kepada Presiden atau Kemendagri dan atau kepada Gubernur.

Bertolak dari rumusan surat edaran tersebut maka kepastiannya soal perijinan pemeriksaan yang diwacanakan oleh Kejati Papua sepanjang tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 adalah klaim sepihak yang justru merusak berbagai asas – asas hukum acara pidana terutama asas persamaan dimuka hukum, asas peradilan cepat dan atau juga asas kemandirian dan independensi kekuasaan judikatif.

Masalah perjinan melalui kemendagri ini diungkap oleh pihak Kejati Papua pada tahun 2011 saat itu dijabat oleh Leo R.T Panjaitan, SH. MH, tentunya menuai pertanyaan terhadap rezim Leo R.T Panjaitan sebab pasca terjadi rotasi, Kejati Papua yang saat ini dijabat oleh Eliezer Sahat Manurung, SH kasus korupsi DPR PB mendadak mendapati perhatian dan diproses secara cepat dan tepat tanpa melalui birokrasi yang berbelit-belit, seyogyanya penegakan hukum tindak pidana korupsi memang telah mengutamakan proses yang singkat. Kita bias mengetahi bahwa menurut Surat Edaran Kejagung No. R-86/F/F.2.1/01/2005 telah menegaskan bahwa tidak perlu ada ijin dari Kemendagri terkait pemeriksaan anggota DPR – PB adalah tepat, “surat edaran tersebut hanya mewajibkan Kejaksaan untuk melapor ke pihak Kemendagri dalam waktu 2 X 24 jam apabilah telah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penahanan terhadap anggota DPR PB”.

Peristiwa ke-tiga yaitu adanya “pengembalian kerugian Negara” atau kasus korupsi Rp. 22 Milyar telah dikembalikan ke khas Negara atau BUMD Propinsi Papua Barat, PT PADOMA. Terkait pengembalian kerugian negara, Pasal 4 UU No. 31 tahun 1999 dan yang telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 dinyatakan antara lain bahwa “pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 2 dan pasal 3 UU tersebut.Kemudian, di dalam penjelasan pasal 4 UU 31/1999 dijelaskan sebagai berikut:“Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut.“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.

Berdasarkan pernyataan Tersangka Marthen Luther Rumadas, hingga pertengahan 2012, uang pengembalian pinjaman telah mencapai Rp 17 miliar dari total pinjaman Rp 22 miliar, uang ini dikembalikan langsung ke khas Perusahan PADOMA. Pengembalian tersebut wajar sebagai itikad baik, namun menuai kritik. Secara pribadi saya sependapat dengan Pak Yan Christian Warinussy yang mengatakan bahwa “Kejaksaan jangan sekedar jual jamu belaka, sebab kasus ini [DPR-PB] sudah ditangani lama namun tidak pernah maju-maju, hingga secara perlahan-lahan kerugian Negara dikembalikan hingga lunas. Dikuatirkan nanti rakyat justru memandang bahwa proses kasusnya sengaja diperlambat oleh Kejati Papua, agar para anggota dan pimpinan DPRPB diselamatkan lebih dahulu karena sudah mengembalikan pinjaman uang. Kemudian diproses hukum hanya sebagai sandiwara saja”. Berkaitan dengan pengembalian kerugian Negara, merujuk pada Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor : 003/2010 tentang Pedoman Penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang menegaskan bahwa “tersangka yang mengembalikan kerugian Negara tidak ditahan” adalah fakta bahwa kasus DPR – PB memperoleh indikasi yang di-setting ke arah tersebut. Keadaan ini sesungguhnya mengecewakan, penilaian kritis seperti ini “pengembalian kerugian Negara dilakukan oleh pejabat (DPR PB) aktif tentu sangat berpotensi menciptakan deal–deal tertentu yang dapat mempengaruhi proses dan Penyelidik dan Penyidik miliki posisi tawar yang kuat untuk mempengaruhi ke arah mana deal akan disettinguntuk menguntungkan kedua belah pihak.

Berdasarkan uraian peristiwa di atas inilah yang kemudian menurut pendapat pribadi saya adalah ujian the test for the corruption case bagi Kejati Papua maupun Kejari Manokwari guna membuktikan komitment penegakan hukum tindak pidana Korupsi. Integritas dan komitment tersebut adalah harapan semua pihak diwilayah Papua Barat, kasus ini selalu menjadi tanda tanya publik, mengingat kasus ini melibatkan BUMD Propinsi Papua Barat PT PADOMA, melibatkan APBD sebagai uang rakyat, melibatkan pihak yang dipilih dan dipercayakan rakyat sebagai wakilnya di parlement Papua Barat. Penilaian sederhana bahwa kasus ini telah melibatkan pejabat elit milik rakyat yang akan mencalonkan diri kembali pada pemilu mendatang, kasus ini juga melibatkan para pejabat perusahan daerah yang baru dilantik pada 17 Juli 2013 lalu masing-masing Direktur Utama PT PADOMA, Ir. Marthen Luther Rumadas dan  Direktur Pelaksana (Operasional) PT PADOMA H. Mamad Suhadi inilah fakta yang menarik simpati luas masyarakat di wilayah Propinsi Papua Barat  untuk selalu aktif mengiktui perkembangan kasus ini akan dibawah ke mana ? Apakah kasus ini adalah cara alam untuk menjelaskan mengapa Propinsi Papua Barat memperoleh rangking ketiga indeks korupsi terbesar di Indonesia ? segenap public di wilayah kepala burung Papua Barat juga menanti persidangan kasus ini, dengan harapan keberpihakan proses hukum terhadap keadilan dan kebenaran.

Kasus DPR PB adalah ujian bagi kejaksaan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pemerhati penegakan hukum tindak pidana korupsi di wilayah Propinsi Papua Barat. 

Resource : Personal Artikel
Artikel ini telah dipublikasi dan dapat diakses pada link website :