WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Sabtu, Maret 21

"Fenomena, PNS Tersangka Tidak Pernah Dinonaktifkan"

Doc Tersangka (IST)

Negara ini adalah Negara Hukum, kita bisa melihat pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang dengan tegas menyebutkan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, pengertian praktis, Negera Hukum artinya Negara yang menegakan supremasi hukum (supremacy of law) untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak pernah ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Prinsip penting Negara hukum yakni perlindungan yang sama (equal protection) dan juga persamaan dimuka hukum (equality before the law).

Untuk maksud tersebut dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan selalu harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mengatur. Di dalam konstitusi Indonesia disebut "rechstaat" tidak berdasarkan pada kekuasaan belaka "machstaat". Disini hukum telah menjadi frame dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga pemegang jabatan wajib untuk berpijak dan menggunakan hukum sebagai peraturan yang berlaku untuk membuat dan menjalankan fungsi suatu jabatan.

Desain tulisan ini secara khusus menyoroti secara singkat fenomea PNS Di Propinsi Papua Barat dan Kabupaten/Kota yang kerap tersangkut kasus atau perkara hukum tetapi justru dilindungi oleh kekuasaan sepihak pengusaha (Pimpinan) yang dalam kapasitas memegang jabatan penting.

Pertama, dari sisi hukum acara pidana. Dalam praktik hukum acara pidana terdapat salah satu asas untuk kepentingan penegakan hukum  yang dipegang oleh para catur wangsa (Polisi, Kejaksaan, Hakim dan Advokat) yakni persamaan dimuka hukum equality before the law yang mengandung pengertian setiap orang diperlakukan sama dihadapan hukum, baik sesama orang yang tersangkut perkara hukum ataupun kepada orang yang tidak tersangkut perkata hukum, asas ini dapat ditemui dalam penjelasan umum KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) butir 3 a. Yang berbunyi “perlakuan yang sama atas diri seseorang dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”. Pokok utama dari perlakuan sama setiap orang dihadapan hukum mengharuskan tiada seorangpun yang dapat memperoleh perlakuan berbeda baik karena jabatan, golongan, suku, agama tertentu termasuk status politik yang disandangnya, semua orang harus setara dalam penegakan  dan mainstream hukum. 

Kedua, dari sisi hukum administrasi Negara, terdapat Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN (Apartur Sipil Negara), Undang-undang yang dikeluarkan pada tahun terakir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini mengatur dengan tertib Pegawai Negeri Sipil yang diubah dengan nama ASN (Aparatur Sipil Negara), sebagaimana menurut pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 3 UU No. 5 tahun 2014 tersebut. Menurut UU ASN, PNS diatur untuk dapat diberhentikan dengan hormat, tidak dengan hormat dan juga bisa diberhentikan sementara dari jabatan PNS/ASN. 

Ketiga, menyalahgunakan wewenang, seorang pejabat PNS/ASN dalam menjalankan tugas kedinasan wajib patuh dan dengan wewenang yang ada tidak boleh melakukan pelanggaran penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Tindakan penyalahgunaan wewenang disini dimaksudkan menurut pasal 4 PP N0. 53 tahun 2010, yakni, ketika seorang pejabat PNS/ASN menggunakan kewenanganya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu untuk kepentingan pribadi atau kepentingan pihak lain yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut.

Dalam tiap kasus PNS/ASN yang tersangkut perkara hukum terutama, terdapat pembagian yang menjadi alasan hukum seorang Pejabat PNS/ASN dapat diberhentian, yaitu PNS/ASN “yang diberhentikan tidak dengan hormat” adalah PNS/ASN yang tersangkut perkara dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan putusan pengadilan, sebagaimana diatur di dalam pasal 87 UU ASN, ini hanya berlaku untuk PNS yang putusan hukuman berupa pidana penjara 2 tahun atau lebih.

Sementara PNS/ASN “dapat diberhentikan sementara” jika dalam pemeriksaaan (penyidikan) perkara ditetapkan status oleh penyidik sebagai tersangka, diatur di dalam pasal 88 UU ASN. Penonaktifan sementara ini baru akan berakhir setelah proses pemeriksaan perkara yang bersangkutan berakhir dan memperoleh putusan (vonis) tidak terbukti bersalah atau memperoleh putusan dibawah 2 (dua) tahun pidana penjara atau kurungan. 

Bertolak dari kedua pola pemberhentian PNS/ASN yang tersangkut perkara hukum di atas terdapat kesimpulan singkat bahwa “setiap PNS yang tersangkut perkara hukum sebagai tersangka dapat diberhentikan sementara oleh pejabat yang berwenang (atasan) dan diberhentikan tidak dengan hormat atau sebaliknya pemberhentian sementara PNS/ASN dapat dicabut, diubah dengan pengaktifan kembali seorang PNS/ASN yang tersangkut perkara hukum sebagaimanamengikuti pasal 82 ayat (2), ayat (4) dan pasal 88 UU ASN.

UU ASN tidak menyebut penonaktifan terhadap PNS yang berstatus terdakwa atau terpidana mengingat tentu (otomatis) penafsiran penonaktifan tersangka akan berlaku hingga proses pemeriksaan perkara tertentu yang melibatkan PNS berakhir, dan memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat (in-cracht van gewijsde). Meskipun ada asas praduga tak bersalah presumption of inoncence pada diri tersangka selama pemeriksaan, tetapi patut untuk diingat bahwa asas ini untuk memastikan proses pemeriksaan tersangka berlangsung dengan melindungi hak asasi manusia tersangka, ini bukanlah asas bagi akses untuk terhindar dari ancaman pasal 88 ayat (1) huruf c UU ASN. Penting untuk diingat bersama bahwa, pendapat ahli, presumption of inoncence adalah prinsip aquisator untuk menempatkan tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan sebagai subjek bukan objek pemeriksaan.  

Dari fenomena yang ada, beberapa pejabat Di Propinsi maupun Kabupaten/Kota di Papua Barat cenderung tidak memahami fungsi jabatan mereka dalam menjalankan peraturan perundang-undangan demikian. Sejumlah kasus di wilayah Propinsi maupun Kabupaten/Kota di Papua barat terutama tindak pidana korupsi menyeret pejabat aktif yang hampir mayoritas tidak pernah ada penonaktifan resmi dari Pemerintah Daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

Pada akhirnya terbentuk kesan negatif yang terpelihara secara kolektif untuk waktu yang lama diberbagai pihak. Pertama, para PNS/ASN akan selalu merasa diri paling benar dalam tindakanya, tidak akan pernah ada budaya malu meskipun kesalahan yang dilakukan melukai hati masyarakat dan merugikan pemerintah dan Negara, tetapi mereka justru merasa diri paling layak dan wajar untuk bebas dari penon-aktifan sementara lalu berkelit dengan alasan yang tidak berdasar.

Kedua, telah ada penciptaan teladan yang akan berpotensi untuk diikuti oleh PNS/ASN lainnya, menurut pendapat pribadi, tentu akan ada klaim kolektif bahwa UU ASN tidak lagi berlaku untuk wilayah tertentu dengan pemahaman-pemahan pragmatis dari oknum-oknum PNS untuk memperkeruh birokrasi pemerintah daerah.

Ketiga, kerusakan wibawa pemerintah daerah. Seorang pejabat atau kepala pemerintahan sebagai pamong yang bijak, seharausnya tegas dan dapat mengambil tindakan penonaktifan sementara setiap pejabat PNS/ASN yang tersangkut kasus hukum sebagai tersangka dan juga dengan tegas memberhentikan tidak dengan hormat pejabat PNS/ASN yang diputus hukuman pidana penjara di atas 2 (dua) tahun pidana penjara atau kurungan demi menjaga wibawa pemerintah daerah yang berdasarkan hukum.

Ke-empat regenerasi pejabat tidak maksimal, karena masih ada pejabat lain yang berkualitas, memiliki integritas dan kualitas yang baik tidak pernah didorong, diangkat untuk mengisi atau menggantikan posisi pejabat yang tersangkut perkara hukum. Padahal setiap penjenjangan karir untuk jabatan boleh dimiliki setiap PNS yang memenuhi ketentuan Peraturan yang berlaku, jikapun tidak demikian mengapa harus ada diklat-diklat yang dapat diperuntukan bagi semuah PNS yang memenuhi syarat.

Ke-lima, masyarakat di Propinsi maupun Kabupate/Kota di Papua Barat mulai tidak lagi percaya (Distrust) Pemerintah Daerah, saat Pemerintah Daerah menghendaki masyarakat mematuhi Perda yang diterapkan tetapi pemerintahan dijalankan secara brutal akibat inprosedural, masyarakat tentu tidak akan mau menerima produk hukum pemerintah daerah yang mengatur masyarakat, pemerintahan benar-benar mengalami degradasi kepercayaan yang dapat menghambat proyeksi pembangunan dan pelayanan publik.

Entahlah, bisa pula asumsi di atas terlalu subjektif, mengingat beberapa pejabat berpendidikan tinggi dan bergelar doktor sehingga sesungguhnya mereka telah memahami peraturan yang berlaku dengan saksama tetapi diabaikan karena bisa saja ada pengaruh faktor lain (luar), sebab iklim kekuasaan politik lokal terbentuk juga berdasarkan faktor lokal.   Kondisi ini sesungguhnya bobrok, kita terikut untuk menjadi brutal dalam me-manage pemerintahan, karena eksistensi pemerintahan  lokal terutama pemerintah daerah tidak harus dipelihara dengan praktik – praktik inprosedural.[black_fox]

Artikel ini telah diposting di Harian Local Manokwari Expres Edisi 20 Maret 2015