WELCOME TO MY PERSONAL BLOGER : "FOY, TABEA, TAOP SONG, MAHIKAI, SWEII, AMULE MENO, NAYAK, WAINAMBEY, ACEM AKWEI, ABRESO..!!

Rabu, April 23

Menakar “Suap”, Kejahatan Jabatan di Papua Barat

Kasus Suap : Foto Ist


Menakar “Suap”, Kejahatan Jabatan di Papua Barat


 Oleh : Simon Banundi, S.H

[Kepala Divisi Pelayanan Hukum LP3BH Manokwari]

 Seorang filsuf Yunani kuno, Taverne pernah mengatakan demikian, "Berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas dan berikanlah saya seorang hakim yang cerdas dan jujur, maka dengan undang - undang yang paling burukpun saya akan menghasilkan putusan yang paling adil"....... Menurut histori Taverne, pada masa itu permasalahan seputar hukum yang tidak-adil (unfair-law) adalah sebuah derajat yang paling mengkhawatirkan, dampak dari itu rakyat makin sengsara hingga terjadinya destabilitasi padapemerintahan.Tidak ada cara lain kecuali harus dimulai dari penegakan hukum (law enforcement) guna membatasi setiap pengaruh kekuasaan tanpa batas saat itu oleh segelintir penguasa. 

Pernyataan Taverne di atas tersebut terkesan terlalu sederhana, bahwa bukan soal hukum atau undang – undang itu sendiri atau sekedar implementasi proses hukum belaka, tetapi pada “kualitas dan integritas”. Dalam hal ini kualitas dan integritas yang dimaksud mencakup kualitas dan integritas intelektual yaitu “kecerdasan” dan pemahaman yang utuh tentang hukum dan kebenaran, serta kualitas dan integritas kepribadian yaitu kejujuran, tanggung jawab, loyalitas dan keberpihakan terhadap kebenaran dan keadilan masyarakat.

Dewasa ini ada banyak orang yang tahu dan setuju bahwa lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap kekuasaan yang tanpa batas di lembaga peradilan court akibatnya terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Perilaku korup, suap maupun gratifikasi termasuk sebagai kekuasaan tanpa batas. Teori hukum menyebutkan bahwa “semua tindak pidana dapat dilakukan oleh pegawai negeri tetapi tidak semua tindak pidana dapat dilakukan oleh bukan pegawai negeri atau masyarakat”. Undang – Undang Nasional Republik Indonesia kemudian dibentuk untuk mencegah dan membatasi tindakan para birokrat hukum yang berlebihan misalnya, UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri, UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman dan UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat.

Namun tidak serta merta, eksplisitas kesemuaan undang-undang tersebut kemudian berhasil berdasarkan amanatnya, fakta memperlihatkan keadaan yang sebaliknya seperti pernyataan Filsuf Taverne di atas yang masih membutuhkan “Jaksa dan hakim yang jujur dan cerdas”. Merespon fenomena tersebut, beberapa undang-undang kemudian meregulasikan secara ketat perilaku menyimpang penegak hukum misalnya, “Kejahatan Jabata” pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP] pasal 418, pasal 419 termasuk di dalamnya penyuapan yang menjadi fokus dari tulisan ini.

“Penyuapan atau suap” secara haraifiah menurut kamus besar bahasa Indonesia karangan S. Wojowasito, IKIP Malang, menyebutkan suap adalah 1. sekali telan, 2. Uang sogok, peristiwa ini terjadi terhadap sesuatu yang tidak dapat berjalan normal, suap diperlukan untuk memperlancar suatu proses. Berdasarkan definisi tersebut “suap adalah solusi akhir ketika terjadi hambatan yang dipastikan telah merintangi, suap adalah cara yang dipilih agar suatu proses berjalan normal.

Merujuk pada Pasal 3 Undang Undang No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap disebutkan bahwa Barangsiapa menerimasesuatuataujanji,sedangkaniamengetahuiataupatutdapatmendugabahwapemberiansesuatuataujanjiitudimaksudkansupayaiaberbuatsesuatuatautidakberbuatsesuatudalamtugasnya, yang berlawanandengankewenanganataukewajibannya yang menyangkutkepentinganumum,dipidanakarenamenerimasuap”. Dalam buku saku memahami tindak pidana korupsi “Memahami untuk Membasmi” yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijelaskan bahwa cakupan suap adalah (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Suap juga bisa berarti setiap harta yang diberikan kepada pejabat atas suatu kepentingan, padahal semestinya urusan tersebut tanpa pembayaran. 

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP/WetboekVan Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) “suap” termasuk sejenis dengan “Kejahatan Jabatan” yang terdapat pada pasal 418 dan 419 dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun kepada seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji, selanjutnya ketentuan  yang lebih tegas terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi menyebutkan “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal 425 dan pasal 435 KUHP, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Bertolak dari rumusan pengertian  di atas, paling tidak terdapat modus suap sebagai berikut, Pertama, dalam hal ini seorang pejabat karena kapasitasnya (jabatan) menerima secara langsung “feeatau honor” dan yang kedua, seorang pejabat karena kapasitasnya (jabatnnya) menerima “melalui janji”. Secara faktual modus demikian memberikan orientasi bahwa Pertama suap diberikan kepada pihak yang miliki jabatan, kapasitas (posisi) tertentu. Dan Kedua, Jabatan atau Posisi tersebut sedang melaksanakan suatu fungsi/tugas tertentu dan ketiga jabatan atau kapasitas (posisi) tertentu tersebut dapat menjalankan, mempengaruhi, mengubah atau tidak mengubah sesuatu yang seharusnya atau tidak berdasarkan jabatan atau kapasitas (posisi) tertentu.

Salah satu keadaan atau peluang terjadinya praktik penyuapan dari pejelasan di atas yaitu suatu fakta proses, hal ini tentu melibatkan antar-otoritas supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya. Praktik penyuapan berbeda dengan praktik korupsi, kolusi atau nepotism yang melekat pada tugas yang diemban melalui delegasi, mandat maupun atributif. Penyuapan justru terjadi dari luar, “setiap orang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri/penyelenggara negara termasuk aparat penegak hukum karena berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,” dilakukan atau tidak dilakukan” dalam jabatannya.

Praktik penyuapan dilembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan maupun peradilan sangat mungkin bisa terjadi, Pertama : mengingat system pemerintahan di Negara Indonesia masih menganut system pembagian kekuasaan (distribution of powers) dalam pemerintahan presidensil baik itu dilevel pusat maupun daerah. Hal ini mengisyaratkan kekuasaan yang terpadu (integrated powers) namun terlampau luas sehingga didistribusikan ke institusi atau lembaga negara lainnya (teori trias politika montesquie), kekuasaan eksekutif (Pemerintah), legislatif (DPR) dan Yudikatif (Peradilan/Penegak hukum), pada pokoknya lintas kekuasaan ini saling ter-integrasi, miliki  koordinasi dan saling berhubungan disegalah bidang meskipun Undang-Undang menegaskan otonom. Secara private melekat “kedudukan dan hak protokoler aparatur kekuasaan” di atas, disinilah potensi penyuapan yang disebutkan dapat terjadi.

Kedua, Undang-undang memandatakan kewenangan menyelidik, menyidik dan menuntut adalah fungsi negara dibidang hukum yang dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan atau penyidik PPNS lainnya.Pada kewenangan ini melekat tanggung jawab untuk membuktikan suatu tindak pidana yang melibatkan setiap orang ataupun pejabat negara yang tersangkut masalah hukum. Salah satu peran yang cukup strategis yaitu mempersiapkan segalah sesuatu yang berkaitan dengan proses hukum, pada tataran proses mempersiapkan ini oleh filsuf Taverne memberikan pernyataan bahwa “berikanlah kepada saya seorang jaksa dan hakim yang jujur dan cerdas”, seorang filsuf ini mungkin menyadari bahwa proses mempersiapkan dan melaksanakan segalah seuatu tentang penegakan hukum adalah situasi dimana sedang terbuka lebar pengaruh pengaruh kekuasaan tanpa batas, tidak lain bahwa persiapan pembuktian adalah titik awal peradilan itu dimulai, akankah peradilan ini berpihak pada keadilan atau sebaliknya sangat ditentukan oleh proses mempersiapkan pembuktian inilah potensi yang dapat menciptakan peluang praktik penyapan itu terjadi.

Ketiga, dimenasi kecenderungan penggunaan praktik penyuapan kecil kemungkinan terjadi pada wilayah atau pemerintahan yang baik dan bersih (good and cleans government), tetapi sebaliknya suatu kondisi wilayah yang buruk pemerintahan dan miliki rekam kasus penyimpangan anggaran yang sangat masif sangat dimungkinkan praktik penyuapan terjadi pada institusi penegak hukum. Sebagai fakta propinsi Papua Barat dan beberapa daerah Kabupaten/Kota di Papua Barat adalah wilayah yang masih terdapat opini disclimer oleh lembaga auditor negara, Propinsi Papua Barat sendiri saat ini untuk sementara menempati peringkat ke-tiga pengungkapan kasus korupsi dan kerugian negara terbesar di Indonesia, keadaan ini adalah jalan bagi adanya kemungkinan praktik penyuapan.

Dari ketiga uraian indikasi di atas masyarakat dan kita sekalian telah dapat dengan jelas menakar bagaimana kemungkinan dugaan suap itu fakta dan sangat berpotensi untuk terjadi. Praktik penyuapan itu sendiri adalah kejahatan jabatan atau bisa termasuk white collar crime tetapi tidak serupa dengan tindak pidana korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tindak pidana penyuapan terjadi, “karena (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, terhadap tindak pidana penyuapan sangksi hukumdiancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Semoga tulisan ini bermanfaat,

Tabea..